Friday, September 29, 2023

 

Binus Marmer

Binus Marmer

Dahlan Iskan menjadi pembicara dalam Studium Generale di kampus Binus, Jakarta.-Harian Disway-

UNIVERSITAS beranak universitas. Itulah Binus University. Yang bulan September ini melahirkan satu universitas lagi: Satu University. Sekaligus dua kampus: di Bandung dan Pontianak. 

Tidak berhenti di dua. Tiap tahun akan dibuka kampus Satu University lain. Di kota yang berbeda. Di seluruh Indonesia.

Binus University sendiri kini sudah berkembang menjadi 7 kampus: Kemanggisan, Senayan, Anggrek Kebon Jeruk, Kemanggisan Kijang, Alam Sutera, Bandung, dan Malang. 

Sebentar lagi di Medan.

Saya ke Binus kampus Anggrek kemarin. Ada kuliah umum soal kendaraan listrik. Kampusnya seperti mal. Delapan lantai. Bangunannya seperti angka 8 yang dimodifikasi. Penghubung di tengah angka 8 itu untuk lift kanan dan kiri. Masing-masing dua pintu. 


Dahlan Iskan melihat karya mahasiswa Binus.-Harian Disway-

Maka di dalam gedung itu terbentuk dua plaza. Dua-duanya void sampai atap. Apa pameran di lantai dasarnya. Ada produk cat lengkap –kecuali cat kuku dan cat rambut. Ada bata penemuan baru terbuat dari sampah plastik. Banyak lagi. Suasananya benar-benar mirip di sebuah mal.

Dari 7 kampus itu total mahasiswa Binus 42.000 orang. Anda sudah tahu: andalan Binus di dua program studi. Yakni computer science dan manajemen. Yang manajemen itu sudah berkembang ke entrepreneur. Yang computer science segera berkembang ke prodi artifisial intelligence (AI). Prodi AI sudah dibuka pendaftaran mahasiswa  barunya bulan ini. Untuk tahun kuliah 2024. 

Rasanya baru Binus yang berani membuka prodi AI di Indonesia. Khususnya di universitas swasta.

Maka kian kukuhlah Binus sebagai salah satu universitas elite. Jangan-jangan sudah menyalip Universitas Tarumanegara –yang dulu berhasil menyalip Universitas Trisakti. 


Salah satu sudut kampus Binus Jakarta.-Harian Disway-

Saya datang ke Binus lebih pagi dari jadwal. Saya ingin lebih banyak tahu kampus ini. Saya diajak tur kampus. Ada Wakil Rektor Prof Dr Engkos Achmad Kuncoro. Ada direktur kampus Dr Reina. Kami melihat ruang dosen, masuk-masuk ke ruang kuliah, ruang podcast, perpustakaan, pojok lesehan mahasiswa, dan charging motor listrik. 

Di antara ruang kuliahnya ada 8 yang dinamakan kelas kreatif. Meja-mejanya bundar. Bisa dipisah-pisah. Tiap pecahan diberi roda. Mudah digeser. Untuk membentuk kelompok belajar baru. Meja itu terbuat dari bahan khusus: bisa ditulisi, digambari, dan dicorat-coret. Pun dindingnya. 

Dosen tertentu diizinkan memindahkan mahasiswanya kuliah di situ. Tinggal order: ruang kreatif mana yang lagi kosong. Saya melongok ke dalamnya: lihat kuliahnya seperti sedang bermain. Dengan dosen sebagai tutor.

Dosen tutor seperti itu juga ada di kelas-kelas khusus bisnis. Bahkan disediakan tempat inkubasi bisnisnya.


Spanduk raksasa di kampus Binus. -Harian Disway-

Lalu saya dibawa ke ujung gedung. Ada gym di situ. Besar. Peralatannya cukup lengkap. Ramai. Banyak yang sedang nge-gym. Bersebelahan dengan itu ada  ruang tari atau yoga. 

"Ada perbedaan penampilan mahasiswa antara sebelum dan sesudah Covid," ujar dosen yang membawa saya tur. "Mahasiswi sekarang terlihat lebih atraktif. Seperti ingin lebih tampil," katanyi. "Mungkin pengaruh TikTok dan Instagram. Mereka seperti harus selalu siap tampil di depan kamera," tambahnyi.

Jelaslah bagi saya: Binus University ditugaskan untuk bergerak di segmen atas, sedang Satu University untuk pasar mahasiswa kelas menengah. "Uang kuliah di Satu University memang jauh lebih murah," ujar Dr Reina.

Struktur organisasi Binus University memang sangat khas. Yang tertinggi adalah ketua yayasan. Menjadi CEO University. Di bawahnya ada rektor. Yang sekarang dijabat Dr Nelly SKom MM. 

Di tujuh kampus itu rektornya satu. Tapi di masing-masing tujuh kampus ada jabatan direktur kampus. Itu karena Binus University menganut sistem membuka ''Program Studi di Luar Kampus Utama''. Atau disebut PSLKU. 


Suasana kelas kreatif Binus.-Harian Disway-

Maka ''Jalan Sukses Binus'' terlihat seperti lari maraton. Napasnya panjang. Langkahnya konsisten. Dimulai dari pemanasan: mendirikan lembaga kursus. Yakni kursus Modern Computer Course. Tahun 1974. Berkembang menjadi Akademi Teknik Komputer (1981). Berkembang lagi menjadi Akademi Manajemen, Informatika, dan Komputer (AMIK). Dari akademi berkembang ke sekolah tinggi: Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer. Baru di tahun 1998, dekat-dekat masa reformasi, berdiri Universitas Bina Nusantara (Binus).

Perjalanannya begitu panjang. Ibarat membangun tembok harus dimulai dari anyaman bambu, menjadi tembok kayu, tembok bata, menjadi tembok semen, dan sekarang menjadi tembok marmer.

Perjalanan Binus ini mengingatkan saya pada Primagama. Lembaga kursus yang berkembang pesat, meluas, dan punya potensi menjadi seperti Binus. Tapi tiba-tiba saja redup dan surup.

Kini Binus mulai dikendalikan generasi ketiga. Yakni para cucu Joseph Wibowo Poespito. Almarhum. Meninggal di usia 82 tahun, 2001. Generasi kedua masih aktif sebagai senior di yayasan. Anak keempat Wibowo, Bernard Gunawan Hadi Poespito, yang kini menjadi ketua yayasan. Praktis ketua yayasan ini menjadi CEO di sebuah perusahaan.

Joseph Wibowo sendiri bermarga Huang (Huang Wan Fu). Ia menerima Anugerah Bintang Gerilya Sultan Yogyakarta dan Anugerah Bintang Veteran. Ia pejuang yang pernah ikut gerilya melawan Belanda.

Nama Bina Nusantara diambil dari rasa nasionalisme Wibowo.

Banyak sekali lembaga pendidikan di grup Binus. Ada Binus International, Binus Graduate Programme, Binus Online Learning, Binus Business School, dan Binus Center - Binus Career. Termasuk ada Institut Kalbis, hasil kerja sama antara Binus dan Kalbe Farma.

Yang juga dibanggakan oleh Binus adalah: predikat internasional dari Amerika. Baru empat universitas yang mendapatkannya: Universitas Gadjah Mada, Binus University, ITB, dan Universitas Indonesia.

Predikat itu disebut AACSB: The Association to Advance Collegiate Schools of Business. Berkantor pusat di Tampa, Florida.

Maka Binus tidak gelisah ketika kementerian pendidikan dan kebudayaan menghapus status ''Unggul'' bagi semua universitas yang pernah mendapatkannya. 

Mulai tahun depan hanya akan ada dua status: perguruan tinggi terakreditasi dan tidak terakreditasi. Binus masih punya status ''unggul'' yang dari Amerika itu.

"Delapan tahun kami memproses untuk mendapat status itu. Akhirnya berhasil," ujar Prof Dr Engkos Achmad Kuncoro, wakil rektor Binus yang bersama saya sepanjang pagi kemarin.

Pun sampai generasi ketiga Binus masih kian jaya. Kian banyak, ternyata, generasi ketiga yang bisa melawan mitos hanya bisa menghancurkan usaha. (*)


sumber tulisan : https://disway.id/read/728359/binus-marmer

Wednesday, September 27, 2023

Buat Paten

 

Paten Pasila

"Jangan lagi hanya berorientasi ke Corpus. Kita malu dengan sopir taksi".

Maksudnya: doktor dan guru besar jangan hanya berlomba bikin karya tulis untuk dipublikasikan di jurnal.

Bikinlah karya nyata. Sekecil apa pun. Lebih tegasnya lagi: kejarlah paten. Jangan kejar jurnal.

Yang mengatakan itu tamu saya Sabtu lalu. Ia sendiri sudah punya lebih dari 40 paten.

"Paten itu tidak harus laku. Tidak harus langsung bisa dilaksanakan. Paten itu aset. Seperti punya tanah. Lama-lama sangat berharga," katanya.

Namanya: Felix Pasila. Lulusan elektro ITS (Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya). Masternya di Jerman. Di bidang automation. Doktornya di Bologna, Italia. Di bidang artificial intelligence (AI).

Menjelang mendapat gelar doktor Felix kembali ke Indonesia. Tahun 2013. Dari bandara Juanda ia naik taksi. Di perjalanan ia ngobrol dengan sopir.

"Apakah penghasilan dari taksi cukup untuk hidup?"

"Saya punya pekerjaan sampingan".

"Apa?"

"Servis kipas angin".

"Bapak lulusan apa?"

"Hanya sampai kelas 5 SD".

"Dari mana mendapat ilmu sampai bisa memperbaiki kipas angin?"

"Belajar dari YouTube. Sambil menunggu penumpang saya belajar itu".

"Kerjanya malam?"

"Saya ajari anak-anak muda di kampung. Mereka sudah bisa. Sekarang ada 20 anak yang bekerja di tempat saya".

Dialog dengan sopir taksi itu menyadarkan Felix habis-habisan. Dari situ ia berubah pikiran. "Lulusan kelas 5 SD saja bisa berkarya. Saya ini calon doktor. Tidak boleh kalah," kata Felix.

Kembali ke Bologna Felix tidak hanya menyelesaikan doktornya. Ia juga terus memikirkan apa yang harus dilakukan agar tidak kalah dengan lulusan kelas 5 SD. 

Maka ia putuskan: bikin ''Rumah Pasila''. Diambil dari nama belakangnya: Felix Pasila. 

Pasila adalah marga di Toraja. Felix orang Toraja yang lahir di Kendari. Ayahnya bekerja di Kendari.

Kini umurnya 49 tahun. Ia ingin Indonesia bisa mengejar ketinggalan di bidang paten.

"Kita hanya punya 15.000 paten setiap tahun," katanya.

"Tiongkok punya 1 juta paten setahun," tambahnya.

Dengan satu juta paten itu kini Tiongkok sudah mengalahkan Amerika.

Di AS lahir 600.000 paten setahun. Dulunya Amerika selalu unggul. Selama puluhan tahun. Belakangan bisa dikejar.

"Saya ingin Indonesia bisa segera mencapai angka 100.000 paten/tahun," ujar Felix. 

Caranya? 

"Para doktor dan guru besar berubah orientasi. Jangan hanya mengejar jurnal," katanya.

Lalu Felix membangun ''Rumah Pasila'' itu. Ia membangun aplikasi untuk siapa saja yang ingin melahirkan dan mengejar paten.

Rumah Pasila adalah marketplace untuk paten.

Kalau keinginan Felix itu terwujud berarti instansi yang memproses paten juga harus siap. Angka itu berarti lebih 8 kali lipat dari sekarang. Kalau tidak ada perubahan, prosesnya bisa sangat lama.

Salah satu paten milik Felix adalah aplikasi yang dipasang di toilet. Khususnya di tempat kencing. Dari aplikasi itu akan ketahuan tingkat kekeruhan dan kandungan mineral si pengguna urinoir. Ketahuan juga hal-hal lainnya. Misalnya narkoba. 

Aplikasi itu bisa dipasang di toilet-toilet tambang. Atau di perusahaan tertentu. Penyakit pekerja akan diketahui. Juga bila kurang minum. Atau malamnya mereka banyak minum alkohol yang membahayakan operasional alat tambang.

Felix juga punya paten agar cat mobil bisa sekaligus sebagai panel tenaga surya. Waktu menemukan ide itu Felix minta timnya, mahasiswa kimia, untuk mengujinya. 

"Memang hasilnya tidak sebesar panel surya. Tapi bisa 80 persennya," katanya.

Dari sekian banyak patennya itu sudah ada yang dibeli orang Myanmar. Sebenarnya ia orang Indonesia. Kawin dengan ratu kecantikan di sana. Anak pengusaha besar.

Felix sendiri beristri wanita Toraja. Waktu ambil S-2 di Bremen, sang istri diajak serta. Ikut kuliah di sana. Hamil. Saat dekat melahirkan dia pulang. "Kalau melahirkan di Jerman takut urusannya ruwet," kata Felix.

Ketika Felix ambil doktor di Bologna, sang istri meneruskan kuliah di Bremen. Lalu menyusul ke Bologna. Hamil lagi. Kali ini berani melahirkan di Bologna.

"Anak kedua itu saya beri nama Santo Egidio," katanya. Itu diambil dari nama jalan di depan rumah yang ditempati Felix di Bologna. (Dahlan Iskan)


sumber tulisan : https://disway.id/read/727641/paten-pasila