Tentara Menulis
Oleh: Dahlan
Iskan
Kamis 27-07-2023,04:02
WIB
Disway ketika memberi
pelatihan menulis pada para perwira TNI AD.--
Saya latihan menembak dan
tentara latihan menulis.
Saya diberi Pangdam
/Brawijaya Mayjen Farid Makruf 10 peluru. Tidak ada yang mengenai sasaran pun
lingkarannya.
"Menulis itu
mestinya tidak sulit. Yang sulit itu memulainya," ujar seorang jenderal
bintang dua Selasa kemarin.
Hari itu staf ahli Mabes
TNI-AD mengadakan rapat koordinasi. Lebih 100 perwira hadir. Mulai kolonel
sampai bintang tiga. Tempatnya di aula Mabes dekat Monas itu. Aula yang masih
terlihat baru. Modern, nyaman dan bersih. Ketika memandang keluar terlihat
pagarnya juga baru, dengan ornamen seni dinamis yang masa kini.
Salah satu acara rakor
itu: belajar menulis. Saya yang diminta jadi pembicara. Moderatornya Brigjen
J.O. Sembiring.
"Tentara itu dilatih
menembak. Tidak dilatih menulis. Sebaliknya saya. Jadi, kalau tentara tidak
bisa menulis itu normal. Tenang saja," kata saya.
Bedanya, tidak ada
perlunya bagi saya untuk terus berlatih menembak. Untuk apa. Tapi tentara perlu
belajar menulis. Banyak sekali gunanya. Terutama bagi para jenderal yang sangat
kaya pengalaman: bagaimana mengatasi tekanan mental bertugas di posisi kritis
dan sulit. Juga kaya ilmu kepemimpinan.
Memimpin wartawan sulit,
apalagi memimpin tentara.
"Tapi bagaimana cara
memulai menulis? Kata apa yang pertama ditulis?"
Menulis memang berbeda
dengan menembak. Menembak ada tutorialnya. Pelatih akan mengajari urutan
gerakannya. Kecuali sudah sampai tahap mahir. Yakni kalau pelajaran menembak
itu sudah sampai tahap ''makrifat'': memadukan feeling, intuisi dan gerakan
jari yang ada di pelatuk senjata: dor! Pasti kena.
Menulis tidak ada
tutorialnya.
Lalu bagaimana? Tidak
sulit.
Saya pun bertanya kepada
peserta rakor. Tidak ada yang tidak bisa naik sepeda kan? "Tapi apakah ada
yang pernah ikut seminar cara-cara naik sepeda?"
"Tidak ada,"
jawab mereka.
"Ada yang pernah
ikut kursus cara naik sepeda?"
"Tidak ada".
Ya sudah. Yang penting
semua masih ingat bagaimana awalnya, kok bisa naik sepeda. Pasti mencoba dan
mencoba. Lalu jatuh. Coba lagi. Jatuh lagi. Coba lagi. Lalu bisa.
Begitulah menulis.
Harus dicoba. Jelek tidak
apa-apa. Anggap saja itu lagi jatuh waktu latihan naik sepeda.
Maka saya teruskan dengan
topik: lima musuh utama menulis. Mungkin Anda bisa tambahkan menjadi 10 atau
15.
Musuh pertama: terlalu
banyak yang ingin ditulis. Semua hal mau dimasukkan dalam tulisan. Akhirnya
tidak mulai-mulai. Tulisan pun jadi tidak fokus.
Musuh kedua: ingin
menulis selengkap-lengkapnya. Akhirnya tulisan jadi ruwet.
Musuh ketiga: dikira
''penting'' itu pasti menarik. Maka tulisan menjadi sangat berat dan kaku.
Musuh keempat: dikira
''menarik'' itu penting. Hasilnya jadi tulisan tidak berbobot.
Musuh kelima: pidato
pejabat yang panjang dan isinya tidak ada yang layak untuk dikutip sebagai
bahan tulisan.
Saya tahu di antara
peserta hari itu adalah staf yang pekerjaannya menyiapkan teks pidato pimpinan.
Maka soal pidato jadi
topik bahasan yang menarik.
Saya heran masih banyak
orang yang berpidato panjang. Tidak menarik pula. Padahal di zaman medsos ini
semua orang ingin cepat-cepat. Tulisan panjang tidak dibaca. Video panjang
tidak dilihat. Apalagi pidato panjang.
Orang sekarang ini hanya
mau serba dua menit. Atau kurang. Video lebih dua menit saja malas menontonnya.
Maka, sekarang ini,
antara yang berpidato dan yang mendengarkan jalan sendiri-sendiri. Yang
berpidato terus berbicara, yang mendengarkan membuka HP. Sibuk dengan layar
masing-masing.
Dulu, pidato yang panjang
ditinggal ngobrol dengan yang duduk di sebelah. Sampai ada yang menegur: jangan
berisik.
Kini tidak ada lagi suara
berisik yang perlu ditegur. Mereka ngobrol secara diam-diam: dengan HP
masing-masing.
Mereka tidak
memperhatikan pidato tapi lebih terlihat sopan.
Saya usul: para penulis
teks pidato menyadari kenyataan baru itu. Lalu bisa meyakinkan pimpinan: di
zaman sekarang pidato panjang tidak ada yang mendengarkan.
Sisi baiknya: semakin
banyak pejabat yang memulai pidato dengan komunikatif. Ada yang memulai dengan
melontarkan celetukan yang jenaka. Yang mendengarkan senang.
Yang juga ditanyakan:
bagaimana menulis angka-angka dalam teks pidato.
Ini dilema. Pidato sering
dijadikan referensi. Tapi jarang yang menggunakan pidato oral sebagai
referensi. Yang dijadikan referensi adalah teks pidato.
Maka mudah: di teks yang
akan diucapkan jangan diberi angka rinci. Bisa salah baca. Yang mendengarkan
juga tidak peduli dengan angka yang panjang.
Maka angka dalam pidato
dibuat pembulatan saja. Lalu di bagian bawah teks itu disertakan data dan
angka-angka yang rinci. Tidak usah dibaca. Bagi yang ingin menggunakan pidato
itu sebagai referensi bisa ambil dari data yang disertakan.
Atau tidak usah ada pidato.
Untung tidak sedikit juga
pidato panjang yang menarik. Tergantung yang berpidato dan cara berpidato.
Di kalangan pembaca
Disway ini ada juga seorang wanita yang saya kenal. Dulu bekerja di bagian
keuangan. Seumur hidupnya yang dilihat dan ditulis hanya angka-angka. Tidak
pernah menulis kalimat. Apalagi panjang.
Tiba-tiba dia berkomentar
soal satu topik di Disway. Isi komentarnya penting tapi tulisannya kurang baik.
Dia tidak berani mengirim ke kolom komentar. Itu dia kirim langsung ke WA saya.
Tentu tulisan itu saya puji: baik sekali.
Dia menulis lagi komentar
yang lain. Saya puji lagi. Dan lagi. Seperti kecanduan. Saya perhatikan: kian
ke belakang tulisannyi kian baik. Sekarang sudah sangat baik. Beneran.
Maka saya sarankan untuk
mulai berani memasukkannya ke kolom komentar. Pak Mirza bisa kalah. Apalagi
Leong Putu. Dia pun bisa jadi wanita Disway yang baru. Namanyi: Dwianti
Handayani.
Dia bisa menulis baik
setelah banyak kali menulis kurang baik.
Kalau saja semua jenderal
atau kolonel menuliskan kekayaan pengalaman pribadinya betapa hebat literatur
kita.
Tidak harus
dipublikasikan. Setidaknya bisa dikirim ke Universitas Pertahanan. Bisa ada
satu sudut di perpustakaan di sana khusus untuk buku mereka.(Dahlan
Iskan)
Sumber tulisan : https://disway.id/read/715679/tentara-menulis