Saturday, August 02, 2008

UNTUK YANG TERCINTA

Ponsel suami Rere berbunyi keras. Pemiliknya sedang berada di kamar mandi. Terpaksa Rere yang mengangkat.
“Halo”
“Halo Zul? eh…Zulfikarnya ada?”
“Bang Zul lagi di kamar mandi”
“Aduh….masih lama gak yah?”
Suara diseberang terdengar gelisah. Rere terpaksa buru-buru ke kamar mandi untuk mengabarkan suaminya.
“Abaang!!!....ada telpon nih, mau terima gak?!”
Yang sedang asyik dikamar mandi terpaksa keluar telanjang dada dan hanya berbalut handuk.
“Dari siapa Dek?”
“Kayaknya sih dari si Roni di kantor.”
Sontak Zulfikar meraih ponsel miliknya dari tangan Rere. Rere langsung bergegas menuju kamar untuk mengambil handuk kecil guna mengeringkan kepala suaminya yang masih basah.
“Iya, kenapa Ron?”
Sambil suaminya menerima telepon, Rere mengusap lembut kepala suaminya. Namun sang suami selalu berjalan kesana kemari sambil menelepon yang menandakan bahwa dia sedang menghadapi persoalan serius. Akhirnya Rere menghentikan langkah suaminya dengan memegang tangan suaminya dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya tetap mengusap kepala sang suami. Namun karena Rere tidak tahan dengan keharuman tubuh suaminya yang baru selesai mandi, akhirnya dia hanya memeluknya saja tanpa meneruskan mengeringkan kepala suaminya.
Roni yang menelepon mengabarkan keadaan gawat yang terjadi di kantor. Klien mereka di Manado tidak yakin akan produk yang dihasilkan perusahaan. Pegawai yang ditugaskan untuk demonstrasi tidak memberikan hasil yang memuaskan. Jika Zulfikar tidak segera kesana untuk meyakinkan kembali sang klien, maka kontrak senilai 1,5 milyar terancam gagal.
“Jadi abang harus ke Manado?”
“Iya, abang usahakan hanya 2 hari, Sabtu Insya Alloh abang sudah sampai di rumah.”
“Aku sendirian donk…”
Rere merengut sambil mengusap-usap kuncirnya layaknya anak perempuan yang sedang merajuk.
Tidak tahan melihat pemandangan tersebut, Zulfikar memeluk Rere.
“Nggak donk sayang….Insya Alloh Dedek gak sendirian…kan ada Alloh yang menjaga Dedek..Dia jagain abang juga, jadi Insya Alloh Kita berdua bakalan baik-baik aja…” Zulfikar mencium kening Rere. Yang dicium merona pipinya.
“Ngg….tapi janji ya Bang, hari Sabtu udah nyampe..”
“Insya Alloh, doain abang selamat donk….sekarang bantuin abang nyiapin koper buat dibawa, oke?” ajak sang suami sambil mencolek mesra hidung istrinya.
Rere segera beranjak untuk mengambil koper dan segala macam keperluan suaminya. Pakaian-pakaian ia pilihkan warna dan motif yang kira-kira cocok untuk bertemu klien. Tiba-tiba dia teringat beberapa kemeja tipis suaminya.
“Bang, kalo pakai ini tanpa kaos dalam sama sekali klien abang pasti tanpa ba bi bu lagi langsung teken kontrak.” Ujar Rere semangat.
“Kalau klien abang cewek sih mungkin aja…lagian emang Dedek suka kalo abang kepincut sama cewek lain? Atau Dedek tega yah kalau abang masuk angin? Atau Dedek mau kalau abang diapa-apain ama klien abang yang lelaki karena dia gay?”
“Hus!....kok abang ngomong gitu sih?” Rere kembali memeluk Zulfikar yang masih telanjang dada berbalut celana semi jeans yang sedang merapikan rambutnya di depan cermin.
“Rere kan Cuma kasih saran aja….”
“Kasih saran sih kasih saran, tapi kira-kira donk….ya udah abang buru-buru nih, nanti ketinggalan pesawat lagi.” Sahut Zulfikar sambil mengambil kemejanya yang terletak di atas kasur lalu memakainya.
Rere memilihkan dasi yang cocok dengan setelan yang dipakai suaminya lalu membantu memakaikannya.
“Selama abang pergi, Dedek jangan kemana-mana yah, tunggu abang pulang.”
“Yah..masa’ Dedek gak boleh keluar rumah? Kan bosen di rumah terus…”
“Kalo siang sih boleh Dedek jemur pakaian atau belanja ke Mpok Eha’, tapi batas keluar rumah cuman sampe jam 8 malem yah, gak boleh lebih.”
“Kayak tahanan aja…..” ujar Rere sambil cemberut.
“Eh, Dedek harus nurut ama Abang..jaga rumah baik-baik jangan sampe ada penyusup atau tamu tak diundang masuk kontrakan kita. Kalau Dedek pergi jauh-jauh ntar yang jaga rumah siapa? Ini juga kan buat Dedek sendiri…inget loh, seorang istri yang baik adalah yang mampu menjaga harta suaminya di kala suaminya tidak ada di rumah.”
“Iya deh Bang, Adek nurut aja ama Abang..tapi pulangnya bawa oleh-oleh yah……”
“Emangnya mau piknik….udah ah, abang berangkat dulu, o iya, chargernya abang pinjam yah, soalnya charger abang lagi rusak, nanti kalo udah pulang baru dibetulin.”
“Iya bawa aja…hati-hati ya Bang”
Rere mengiringi suaminya sampai di depan pintu lalu melepas kepergiannya dengan mencium takzim punggung tangan sang suami.
***

Pukul 2 dinihari Rere terbangun oleh dering pesan pendek dari ponselnya.
‘Cpt pulang, Ibu skt krs jatuh di kamar mandi.’
Pesan itu datang dari Adiknya di kampung sebelah tempat tinggal orang tua dan saudara-saudaranya yang masih lajang. Rere kebingungan. Bagaimana dia bisa membalas pesan adiknya bahwa suaminya berpesan agar dia tidak boleh pergi jauh sementara pulsa yang dia miliki sudah habis? Dia tidak mempunyai telepon rumah untuk menghemat pengeluaran rumah tangganya yang sudah pas-pasan.
10 menit kemudian datang pesan kedua.
‘Ibu kritis, cptlah pulang, Ibu nyebut2 Mbak terus.’
Rere mulai gelisah. Apa yang harus dia lakukan? Pagi buta begini pastilah counter-counter ponsel masih tutup. Kalaupun buka, dia pun tidak bisa keluar karena suaminya melarangnya. Akhirnya dia berdoa kepada Alloh, berharap agar adiknya itu meneleponnya supaya dia bisa meminta adiknya mentransfer pulsa kepadanya sehingga dia bisa menghubungi suaminya.
Doanya terkabul. Ponselnya berdering. Namun ketika dia hendak menjawabnya, baterai ponselnya habis. Mati total.
Rere makin gelisah. Kenapa selalu di saat-saat kritis seperti ini ponselnya tidak mau diajak bekerjasama? Berkali-kali dicoba dan dicoba lagi untuk menghidupkan kembali ponsel semata wayangnya, namun hasilnya nihil.
Akhirnya dia mencari charger yang biasa dia letakkan di lemari pakaiannya.
Tidak ada.
Dia baru ingat bahwa suaminya membawanya ke Manado karena charger milik suaminya tidak bisa dipakai.
Pelan tapi pasti airmata Rere jatuh satu-satu. Dia gelisah setengah mati. Otaknya hang. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Setengah berlari ia ke kamar mandi, terisak, sambil menutup mulutnya menahan kepedihan yang dia rasakan. Dia mengambil wudhu untuk sholat Tahajjud dan Istikharah, memohon petunjuk kepada Sang pemilik jiwa.
Dia tumpahkan seluruh kegundahannya dalam keheningan sujudnya. Berdoa, memohon kemurahan Sang Ilahi agar menjaga ibunya yang sangat ia sayangi. Sajadahnya basah oleh airmata pengharapan, mengadukan kelemahan dirinya yang tidak mampu berbuat apa-apa tanpa kehendak-Nya.
1 jam lamanya dia bersujud. Berharap, dan terus berharap. Lalu bertawakal, menyerahkan segala keputusan di tangan-Nya.
Akhirnya dia mendapat harapan. Siapa tahu charger suaminya tidak rusak parah, bisa dipakai walaupun hanya sedikit. Dia pun langsung bergegas mencarinya di kotak peralatan suaminya.
Tidak ada.
Dia lupa memastikan di mana sang suami meletakkan chargernya. Namun Rere tidak menyerah, masih ada harapan untuk menemukan charger tersebut meskipun harus mencarinya di gudang belakang yang penuh dengan tikus, binatang menjijikkan yang paling ia takuti.
Pencarian dimulai dari laci meja komputer yang biasa dipakai kerja suaminya. Namun isinya hanya berkas-berkas laporan yang tidak ia mengerti. Meskipun berkali-kali menyibakkan laporan-laporan tersebut, charger tersebut tidak ditemukannya. Rere menutup laci tersebut dengan keras karena kesalnya.
Kemudian dia beralih, berlari ke lemari pakaian suaminya. Namun karena terburu-buru dia tidak memperhatikan langkahnya sehingga kaki kirinya terantuk kaki meja komputer. Sakit sekali. Jari kelingking kakinya serasa mau putus. Kukunya sedikit terkoyak dan pecah. Meskipun tidak mengeluarkan luka namun perihnya tak terkira.
Sambil menyeret langkahnya, dia menuju lemari pakaian suaminya. Dibukanya lemari itu dengan kasar. Terlihat pakaian-pakaian suaminya. Kaus kasual berwarna-warni tersusun rapi seperti kue lapis. Rere mulai mengacak-acak liar susunan tersebut seperti serigala yang sedang mengoyak daging buruannya. Namun yang ada hanyalah kaus, dan kaus lagi. Sebagian sedikit tersobek. Tidak pernah dia sekasar ini sebelumnya.
Setelah 1 jam pontang-panting kesana kemari dalam pencarian, akhirnya charger tersebut ditemukannya yang ternyata hanya terletak di dalam saku celana panjang suaminya yang tergantung di balik pintu kamar. Rere langsung mencolokkannya ke ponselnya dan disambung ke stop kontak di dekat televisi. Seketika dia nyalakan ponsel. Satu pesan masuk.
‘Ibu tdk tertlng, dktr sdh berusaha keras tapi tetap tdk bs menyelamatkan Ibu’
Rere menangis sejadinya. Bersujud, memohon ampun kepada Alloh karena tidak kuasa untuk menolong Ibunya, menemaninya di saat-saat terakhir sampai pergi untuk selamanya.
***